BAB 3
MANUSIA MAHLUK IBADAT
Materi bab 3 ini terdiri atas :
3.1 Mahluk Allah yang Diciptakan untuk Beribadat
3.2 Konsep Ibadat dalam Islam
3.3 Konsep Three-in-one (Iman-Ilmu-Amal)
3.4 Ibadat Mahdhah
3.5 Ibadat Shalat sebagai Lokomotif
3.6 Tugas Latihan
PENDAHULUAN
3.1 Makhluk Allah yang Diciptakan untuk Beribadat
Ibadat itu berarti merespons apa yang telah diberikan Allah. Respons itu ada yang positif dan negatif. Hanya jin dan manusia yang disebutkan Allah sebagai makhluk yang harus beribadat. Allah telah menetapkan sejak awal penciptaan manusia dengan dua sifat, yaitu “sisi buruk (fujur) dan sisi baik (taqwa)”.Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang memiliki bentuk yang sebaik-baiknya, lebih sempurna daripada makhluk lain. Manusia, sejak awal penciptaan, telah “siap” memikul beban tugas amanat Allah yang ditolak oleh langit, gunung, dan bumi. Allah tidak memberi kesempatan kepada mahluk selain manusia dan jin untuk memiliki kemampuan mengubah kondisi dirinya kecuali jenis malaikat, iblis, binatang, tumbuhan, dan alam secara luas, berada pada posisi mahluk yang tidak pernah berubah, tidak mampu mengubah dirinya.Malaikat sejak awal penciptaan oleh Allah tetap berada pada posisi mahluk penurut, selalu taat kepada Allah, sedangkan bangsa iblis, sejak awal penciptaan Adam As, dan ketika mereka diperintah bersujud oleh Allah untuk (menghormati) manusia pertama yaitu Adan As, tetap berada dalam sikap membangkang. Seperti yang telah dijelaskan ayat dibawah ini.
مَا نُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ
Artinya: “Kami tidak menurunkan Malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh”(Q.S. Al-Hijr, 15: 08)
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Baqarah, 02: 34)
Kesombongan Iblis adalah salah satu penyebab mengapa Iblis membangkang kepada perintah Allah. Kesombongan yang dimiliki Iblis, tentu, adalah berdasarkan rancangan pasti dari Allah. Allah menetapkan satu kondisi keseimbangan yang menyertai ketaatan. Ketaatan ditetapkan menjadi milik mutlak para malaikat, sementara penyeimbangnya berupa ketidaktaatan, pembangkangan, ditetapkan menjadi milik para Iblis. Keduanya, Nanti, akan menyertai kondisi yang telah dianugerahkan kepada manusia (khususnya) dan Jin, yaitu sisi taqwa dan sisi fujur. Selain malaikat dan Iblis, mahluk Allah yang lain yaitu tumbuhan dan binatang, dalam kondisi apa pun, memiliki pola kehidupan yang cederung tetap, tidak mampu mengubah dirinya. Allah telah menetapan ketentuan-ketentuan yang pasti kepada mahluk-Nya yang berupa tumbuhan dengan keteraturan yang pasti.
3.2 Konsep Ibadat dalam Islam
Ibadat berarti mengabdi mengikuti pola dan mengembangkan pola. Pola ini diatur agar semua pelaksana bisa dengan mudah melakukan semua perintah. Pola ibadat adalah ketentuan Allah berupa ikatan yang tidak bisa diubah dalam semua ibadat mahdhah, ibadat yang telah dipastikan bentuk, tempat, cara, hitungan, dan sanksi pelaksanaannya. Ibadat yang terpola adalah ibadat vertikal. Jenis ibadat ini adalah ibadat utama yang harus dilakukan oleh semua manusia yang mengaku hanya berserah diri kepada Allah. Ibadat vertikal, banyak berupa ibadat yang melibatkan perilaku fisik ini, bisa dilakukan orang-perorangan tanpa perantara, yaitu “berhadapan langsung” dengan Allah. Seperti yang telah dijelaskan pada ayat dibawah ini
فَادۡعُوا اللّٰهَ مُخۡلِصِيۡنَ لَهُ الدِّيۡنَ وَلَوۡ كَرِهَ الۡـكٰفِرُوۡنَ
Artinya: “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)” (Q.S. Ghafir, 40: 14)
Pola ibadat berupa tuntunan sekaligus tuntutan Allah, telah dikemas dalam bentuk kitab (di antaranya terdiri atas shuhuf-shuhuf). Fungsi shuhuf adalah sebagai pedoman yang menyertai para Nabiyullah dalam menjalankan tugasnya. Dan, kitab-kitab yang diturunkan kemudian oleh Allah, selalu membenarkan isi kitab-kitab sebelumnya. Selain kitab, pembeda yang haq dengan yang bathil, yang diberikan oleh Allah kepada para Nabi adalah berupa kelebihan kemampuan di luar kemampuan manusia yang umum, yaitu berupa mukjizat.Ia bisa menjadi bukti nyata, terindera, maujud, menggambarkan kekuasaan Allah yang ditampilkan oleh para utusan-Nya, yang menjadi bukti konkret tentang keberadaan Allah bagi manusia. Perhatikan kutipan ayat dibawah ini :
وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنِّى قَدْ جِئْتُكُم بِـَٔايَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۖ أَنِّىٓ أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ ٱلطِّينِ كَهَيْـَٔةِ ٱلطَّيْرِ فَأَنفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًۢا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُبْرِئُ ٱلْأَكْمَهَ وَٱلْأَبْرَصَ وَأُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِى بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) daripada Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku”.(Q.S. Ali ‘Imran, 03: 49-50)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)”. (Q.S. An-Nisaa, 04: 174)
Bagian dari ibadat imani, seperti yang telah ada dalam pola Rukun Iman (mengimani tentang keberadaan Allah Swt, keberadaan malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, keberadaan hari Qiyamat, dan keberadaan qadha serta qadar Allah), juga mengimani keberadaan mukjizat-mukjizat yang telah diberikan oleh Allah kepada para Nabi. Yang dikutip pada surah Al-Baqarah, 02: 03
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
Artinya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Q.S. Al-Baqarah, 02: 03)
Hal lain yang ghaib, seperti keberadaan iblis, surga, neraka, pahala, siksa, dan yang tak terindera lainnya, menjadi kewajiban imani bagi semua manusia. Ibadat vertikal termaktub dalam pola aturan Rukun Islam. Ia terdiri atas ikrar dua kalimat syahadat, shalat, shaum, zakat, dan hajji. Ibadat amaliyah adalah juga menjadi tuntutan Allah kepada manusia, yaitu ibadat mu’amalat (horizontal antar manusia) dan ibadat horizontal lainnya berupa perilaku manusia terhadap alam.
3.3 Konsep Three-in-One (Iman-Ilmu-Amal)
Semua jenis ibadat (mahdhah dan ghair mahdhah) telah disediakan oleh Allah di dalam Al-Quran dan hadits Nabi Saw sebagai petunjuk pelaksanaannya. Seseorang yang mengaku muslim dituntut harus mampu merealisasikan pengakuannya sebagai muslim dalam tiga hal: iman, ilmu, dan amal. Seseorang yang telah rela berserah diri hanya kepada Allah dan meyakini bahwa Muhammad adalah Nabi yang risalahnya harus dituruti, harus menunjukkan bukti kepatuhannya dalam bentuk amal, perbuatan. Iman selalu digandengkan dengan amal shalih. Begitulah Allah merumuskan kesatuan iman dengan amal shalih. Allah selalu menyeru orang yang beriman sekaligus bershali shalih untuk dianugerahi pahala, orang yang beriman dan beramal shalih akan dihapuskan dosanya, dan Allah sangat menghargai orang-orang yang berimann. Perhatikan ayat dibawah ini, sebagai berikut:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(Q.S. An-Nahl, 16: 97)
Tuntuan dalam agama Islam bukan sekadar mengandalkan pengakuan (keimanan)semata. Setelah seseorang bersyahadat, menyatakan pengakuan bahwa “Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”, sebagai rukun Islam yang utama, seorang muslim harus menjalankan rukun Islam yang lainnya: shalat, shaum, zakat, dan hajji (semua dalam bentuk kegiatan amal). Tetapi, untuk melaksanakan amal, agar amal benar, sesuai dengan tuntutan sunnah Nabi saw, diperlukan pengetahuan tentangnya (ilmu). Tiga konten keislaman yang three-in-one (iman-ilmu-amal) harus dalam kesatuan yang padu berada dalam diri seorang muslim/muslimah, bersinergi menampilkan pribadi muslim yang kaffah. Jika satu unsur saja hilang, akan muncul bentuk-bentuk ketimpangan yang berisiko fisik (tampilan: ucapan dan perilaku) maupun psikis (keimanan).Satu sisi lain yang bisa menunjukkan bahwa janji Allah itu benar adalah terkait dengan janji Allah kepada orang beriman sekaligus menguasai ilmu pengetahuan. Allah telah menjanjikan pahala serta kemuliaan kepada orang-orang yang beriman dan berilmu. Allah mengangkat derajat orang-orang yang memiliki ilmu (ilmu tentang kebutuhan hidup di dunia maupun akhirat) yang didasari oleh keimanan, seperti potongan surah Q.S. Al-Mujaadilah, 58: 11 yang berbunyi
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Mujaadilah, 58: 11).
Bukti yang nyata tentang janji Allah tersebut telah tampak secara duniawi. Masyarakat di negara-negara yang memuliakan ilmu pengetahuan telah berada dalam posisi di atas masyarakat lainnya yang kurang pandai mengelola ilmu. Jepang, Jerman, Cina, Amerika, dan sejumlah negara yang masyarakatnya pandai mengelola ilmu Allah, telah diberi posisi lebih tinggi dibanding posisi masyarakat di negara lainnya yang kurang menguasai Ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa janji Allah, sekalipun tuntutannya baru terpenuhi sebagian, yaitu menguasai ilmu, telah sangat nyata. Allah membuktikan janji-Nya secara duniawi. Orang yang beriman tanpa ilmu berada pada posisi taklid, bahkan taklid buta. Orang yang berilmu tanpa keimanan, hasil olah pikirnya cenderung mendatangkan mafsadat, kerusakan, kesengsaraan masyarakat. Orang yang berilmu tanpa amal akan dilaknat oleh Allah. Dan, orang yang beramal tanpa iman, amalnya Tidak akan membuahkan pahala apapun di sisi Allah. Seperti penjelasan ayat di bawah ini,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلْنَا مِنَ ٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلْهُدَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِى ٱلْكِتَٰبِ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ يَلْعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati” (Q.S. Al-baqarah, 02: 159)
3.4 Ibadat Mahdhah
Ada dua kategori ibadat dalam Dinul Islam. Ibadat yang dilakukan dengan pedoman ketat (sejenis pakem plus) dan ibadat yang diatur hanya esensinya, sementara pelaksanaannya bisa terkait dengan kondisi lingkungan dan zaman. Tetapi, zaman tidak bisa mengatur bentuk dan jenis ibadat ini. Istilah pakem hanya dipinjam untuk menunjukkan posisi aturan yang mengikat dan menjadi pola dalam kegiatan, tetapi karena pakem buatan manusia, pakem bisa diubah kapan saja. Sementara itu, pakem plus adalah pakem atau aturan pasti yang tak bisa diubah berdasar keinginan manusia. Sejak masa Nabi saw hingga kapanpun, ibadat yang terikat oleh pakem plus, ibadat mahdhah, tetap dengan pola yang sama, dengan aturan yang pasti persis sama pola kegiatannya.
3.4.1 Syahadatain
Pakem plus dalam ibadat mahdhah mengikat urusan waktu, hitungan, tempat, cara, dan ketentuan-ketentuan yang sangat mengikat jenis ibadat mahdhah ini. Idadat ini terdiri atas ibadat utama, sangat mendasar, yang ditata menjadi rukun dalam Islam. Redaksi syahadat sebagai ibadat ikrairyah tidak bisa diubah dan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabiyullah Muhammad saw:
“Asyhadu an laa ilaaha illa-Allah, wa asyhadu anaa Muhammadan Rasuulullah”. Ikrar syahadat adalah ibadat mahdhah yang pertama.
3.4.2 Ibadat Shalat
Ibadat mahdhah yang kedua adalah shalat. Shalat terdiri atas shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat fardhu dan shalat sunnat memiliki kesamaan cara dan isi do’anya, tetapi jumlah rakaat dan waktu dalam shalat fardhu telah ditetapkan secara pasti, tak bisa diubah (kecuali dalam kondisi tertentu, kondisi rukhshah yang telah ditetap oleh Allah melalui uswah Rasulullah). Shalat wajib yang terdiri atas lima waktu shalat tertentu dengan jumlah rakaat yang tertentu, adalah shalat yang sangat diikat terutama oleh ketetapan waktu sedangkan jumlah shalat sunnat secara khusus diatur juga secara ketat, yaitu shalat-shalat sunnat rawatib dan shalat nafilah, sementara shalat sunnat lainnya bisa dilakukan dengan kondisi aturan yang lebih bebas waktu. Semuaemua keterangan tentang SoP shalat (fardhu) ada dalam sejumlah hadits Nabi: qauliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), maupun takririyah (persetujuan atau diamnya Nabi atas perbuatan yang dilakukan para sahabatnya). Oleh karena itu, oang muslim tidak cukup hanya sekadar menafsir ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran semata. Dalam menjabarkan perintah-perintah Allah dibutuhkan tafsiran yang menggunakan hadits Nabi di samping ayat-ayat Al-Quran. Hadits Nabi, contohnya, diperlukan untuk menjabarkan secara lengkap perintah Allah tentang tata cara shalat, melalui kegiatan mencontoh shalat yang dilakukan oleh Nabi saw. Shalat, lebih khusus shalat fardhu, adalah ibadat yang sangat terikat oleh pakem plus. Di samping kewajiban yang sangat mengikat tentang shalat, Allah telah menyediakan satu aturan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kondisi-kondisi tertentu. Dalam pelaksanaan shalat wajib, ada sejenis ‘keringanan’ yang disebut dengan ‘rukhshah’. Rukhshah ini terkait dengan kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan kesulitan sementara bagi seseoarang. Musafir (kondisi dalam perjalanan), sakit, suasana ketakutan karena perang, adalah contoh kondisi yang bisa dikaitkan dengan berlakunya keringanan pelaksanaan shalat fardhu berbentuk rukhshah tadi.
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Q.S. Al-Baqarah, 02: 239)
Dalam kondisi rukhshah, Nabi saw juga mengajarkan pelaksanaan ibadat shalat fardhu dngan cara jama’. Pengertian istilah jama’ adalah menggabung dua waktu shalat dalam waktu shalat yang terdahulu atau terakhir, dengan persyaratan kondisi musafir. Ada dua ketetapan waktu tentang shalat jama’, yaitu jama’ taqdim dan jama’ takhir. Jama’ taqdim adalah penggabungan dua waktu shalat yang pelaksanaannya pada waktu yang pertama, sementara jama’ takhir adalah penggabungan dua waktu shalat yang pelaksanaannya pada waktu yang kedua. Shalat fardhu adalah kewajiban yang “melekat” pada semua orang yang mengaku muslim. Shalat fardhu tidak bisa ditinggalkan (kecuali untuk muslimah yang sedang berhalangan: haidh atau nifas). Kewajiban shalat (fadhu) melekat dalam perilaku ibadat seorang muslim/muslimat terkait dengan posisi ibadat shalat sebagai ibadat mahdhah yang utama setelah syahadatain. shalat (lebih khusus shalat fardhu) diposisikan sebagai tiang agama. Oleh karena itu, jika ada muslim/muslimat yang tidak mendirikan shalat secara baik dan benar, yang bersangkutan dianggap telah meruntuhkan bangunan agama yang menaunginya.
ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Ankabuut, 29: 45)
Untuk melengkapi, bahkan memperbaiki, kondisi shalat fardhu adalah melaksanakan shalat sunnat. Shalat sunnat diatur oleh Rasulullah secara kategoris: sunnat muakkad (rawatib) dan ghair muakkad. Sejumlah shalat sunnat lainnya yang umum dilakukan oleh ummat Islam berdasarkan contoh yang pernah diakukan oleh Nabiyullah saw adalah:
• Shalat Sunnat Syukrul Wudhu dan Tahiyyatul Masjid
Shalat sunnat Syukrul Wudhu adalah shalat sunnat yang dilakukan setelah melaskanakan wudhu, baik untuk shalat maupun menjaga wudhu. Setelah berwudhu, kemudian masuk masjid, ada juga shalat yang docontohkan oleh Nabiyullah sebagai bentuk adab terhadap masjid, yaitu shalat sunnat Tahiyyatul Masjid, seperti dalam keterangan berikut.
• Shalat Sunnat Dhuha
Shalat sunnat Dhuha, lebih dikenal sebagai shalat sunnat yang dikaitkan dengan usaha manusia memohon rezeki kepada Allah swt, dilaksanakan di pagi hari. Dalam sejumlah keterangan disebutkan bahwa waktu shalat sunnat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalah. Banyak yang menetapkannya dengan perhitungan waktu masa kini yaitu sekitar pukul 07 pagi. Rentang waktu yang bisa digunakan untuk melaksanakan shalat Dhuha, dalams sejumlah keterangan adalah hingga tengah hari, sekitar pukul 11.30an.
• Shalat Sunnat Tahajjud dan Witir
Shalat sunnat Tahajjud diperintahkan dengan menggunakan kalimat perintah yang khusus. Dalam surat Al-Isra, 17: 79, Allah swt mengingatkan manusia untuk melakukan shalat Tahajjud dengan batas waktu pelakasanaan setengah malam. Janji Allah swt terkait shalat sunnat ini adalah tempat terpuji (maqaaman mahmuudaa) dan ucapan yang berisi (qaulan Tsaqiilaa).
• Shalat Tarawih
Shalat sunnat yang khusus dilakukan selama (setiap) bulan Ramadhan sebagai bentuk isi kegiatan Qiyamullail, pada dasarnya hampir sama dengan Qiyamullail untuk Shalat
Tahajjud. Persamaannya terkait dengan jumlah rakaat yang biasa dikerjakan di dalam kedua jenis shalat ini, yang diakhiri dengan Shalat Witir. Tetapi, Shalat Tarawih lebih banyak dilakukan secara berjamaah.
Jenis shalat sunnat lainnya:
1) Shalat Khusuf, yaitu shalat sunat sewaktu terjadi gerhana Bulan atau matahari.
2) Shalat Istisqa, yaitu shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah swt.
3) Shalat Janazah, yaitu shalat yang menjadi fardhu kifayah bagi muslim ketika ada muslim lainnya yang meninggal.
4) Shalat Muthlaq, yaitu shalat sunnat 2 rakaat yang bisa dilakukan oleh seseorang pada saat diperlukan sebagai sebuah kondisi Dzikir.
5) Shalat Hajjat, yaitu shalat sunnat yang dikaitkan dengan permohonan sesuatu Kepada Allah swt, yang memilik dasar yang hampir sama dengan
6) Shalat Istikharah, yaitu (memohon petunjuk tentang pilihan).
7) Shalat Tasbih, yaitu shalat yang biasa dikerjakan pada hitungan pertengahan bulan Ramadhan, sebagai bentuk pernyataan permohonan ampun kepada Allah swt. Semua shalat sunnat, sejauh ada keterangan yang jelas tentang pelaksanaannya, pernah dicontohkan oleh Nabiyullah atau disetujui dengan diamnya
3.4.3 Zakat, Shaum, dan Hajji
Zakat, Shaum, dan Hajji, adalah ibadat mahdhah dalam paket Rukum Islam lainnya, yang juga sangat terikat dengan ketetapan waktu, tata cara pelaksanaan, dan tempat pelaksanaan (hajji). Semua ibadat mahdhah adalah ibadat utama yang harus dilakansakan oleh semua yang mengaku muslim/muslimat. Ibadat pokok ini adalah ibadat dasar, tanpa ibadat tambahan seorang muslim hanya mendapatkan pemenuhan kewajiban semata.
Zakat hanya akan berlaku kewajibannya terkait dengn sejumlah kondisi. Zakat dilengkapi persyaratan kondisi memiliki harta (hak penuh), nishab, dan cukup haul. Seseorang yang telah dianugerahi titipan harta dengan jumlah tertentu yang mencukupi syarat wajib zakat, maka yang bersangkutan, setelah satu tahun, harus mengeluarkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat: a) emas, perak, uang baik berbentuk uang logam maupun uang kertas; b) barang tambang dan barang temuan; c) barang dagangan; d) hasil tanaman dan buah-buahan; dan e) binatang ternak yang merumput sendiri (jumhur ulama) atau binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (Mazhab Maliki). Di samping harta dimaksud yaitu harta bergerak yang setiap waktu bertambah dan berkurang, dalam sejumlah keterangan, termasuk hartahasil kerja profesi.
Shaum atau puasa (wajib) adalah ibadat mahdhah yang terkait ketat dengan waktu. Shaum wajib hanya disyariatkan pada bulan Ramadhan, sepanjang bulan Ramadhan yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri. Rangkaian kegiatannya meliputi kewjiban menahan diri dari dua Syahwat: perut dan bawah perut (kemaluan), sejak terbit fajar (datangnya waktu shubuh) hingga terbenam matahari (tibanya waktu Maghrib). Sejumlah aktivitas fisik (perilaku) maupun psikis (batin) yang juga bisa mengurangi nilai shaum bahkan “membatalkan nilai shaum” adalah perilaku menahan diri (perbuatan, sikap, rasa,
Hajji adalah ibadat wajib yang kewajibannya bersyarat. Artinya, kewajiban awal hajji adalah kepada semua muslim, tetapi ketika muslim tersebut belum memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, maka kewajiban hajji sementara bisa ditangguhkan. Bahkan, bagi muslim tertentu yang belum diberi kemampuan untuk berhajji, kewajiban tersebut terus akan ditangguhkan hingga muslim tersebut mampu.Disebutkan bahwa ibadat hajji adalah ibadat yang tergolong berat. Sisi berat yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan tertentu. Yang dimaksud dengan kemampuan melaksanakan hajji terkait dengan kemampuan fisik (mampu melaksanakan perjalanan jauh dan melaksanakan sejumlah kegiatan rukun hajji yang memerlukan kekuatan fisik), kemampuan finansial, bahkan kemampuan yang terkait dengan keamanan baik di perjalanan maupun di tempat tujuan.
3.5 Ibadat Shalat sebagai Lokomotif
Ibadat mahdhah diikat aturan yang pasti. Perjanjian syahadatain, sebagai contoh. Sekalipun hanya diikrarkan pada awal ketika seseorang mengaku siap diatur oleh aturan Allah swt dan mengikuti uswah hasanah Nabi saw, perjanjian itu menjadi fondasi utama pernyataan siap mengikuti aturan Allah swt yang tak bisa diganti dengan aturan-aturan yang lain. Setiap shalat fardhu harus dilaksanakan pada rentang waktunya yang telah ditentukan, begitupun jumlah rakaatnya untuk setiap shalat tetap ditetapkan. Dalam kondisi apapun, seseorang yang telah berikrar 2 kalimat syahadat, terikat oleh keharusan melaksanakan shalat fardhu pada saat datang waktunya. Seseorang muslim yang sedang dalam kondisi sehat terkena wajib melaksanakan shalat Fardhu, begitupun mereka yang sedang dalam kondisi sakit (muslimat yang haidh dan nifas misalnya) dan dalam perjalanan (dengan rukhshah yang telah ditetapkan). Yang sedang senang atau susah, sibuk atau santai, bahkan menjelang ajal. Seorang muslim harus melaksanakan shalat fardhu ketika datang waktunya. Kewajiban shalat tidak akan bisa lepas dari seorang muslim, kecuali yang bersangkutan sudah meninggal atau masih hidup tetapi hilang akal. Ibadat mahdhah lainnya, sekalipun diikat oleh aturan, tetapi ada kondisi tenggang, ada kondisi keringanan tertentu yang bisa “melepas” kewajiban dalam melaksanakan ibadat tersebut. Penggantinya, bisa berupa mengganti shaum wajib di luar bulan Ramadhan atau mengganti kewajiban shaum dengan fidyah. Jika seseorang yang tidak bisa melaksanakan ibadat shaum wajib secara normal, juga tidak mampu menggantinya pada bulan lain, serta tidak sanggup mengeluarkan fidyah, maka kondisi tadi bisa menyebabkan lepasnya kewajiban Tentu kondisi tadi tidak akan berlaku pada pelaksanaan ibadat shalat wajib, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ibarat seseorang yang memiliki barang siap kirim yang telah tersimpan dalam sejumlah kereta barang, kekayaan tersebut tidak akan bisa diberangkatkan jika tidak tersedia kereta lokomotifnya. Kereta lokomotif adalah kereta yang memiliki kekuatan untuk menjalankan mesin dan mengangkut kereta barang. Begitulah ibarat posisi ibadat shalat, sebagai lokomotif yang bisa mengangkut amal ibadat lainnya yang diumpamakan sebagai kereta-kereta barang. Ibadat shalat wajib adalah lokomotif yang akan mengangkut semua pahala ibadat wajib dan sunnat yang telah dikumpulkan oleh seseorang.
Beberapa hadits lain dengan matan yang agak berbeda, diriwayatkan oleh para ahli hadits lainnya, menyebutkan hal yang sama tentang posisi ibadat shalat fardhu sebagai amalan utama. Dalam peristiwa yang banyak diberitakan dalam media massa masa kini, begitu banyak orang yang beridentitas muslim/muslimah tetapi terlibat dalam banyak keburukan korupsi, misalnya. Bahkan dalam kasus yang lain, seseorang berada pada posisi (seharusnya) sebagai teladan ummat, tetapi juga ikut terlibat dalam mengorupsi harta ummat dan dalam kegiatan ibadat ummat. Sementara itu, media massa kerap menjadi corong kebohongan publik dalam bentuk pembnetukan pendapat umum yang berbalut iu-isu politik dan SARA. Banyak berita dan pendapat tentang Islam yang kurang nyaman dibaca, didengar, maupun ditionton, karena ulah sejumlah oknum yang mengaku muslim/muslimah tetapi perilakunya tidak Islami. Yang Artinya, shalat saja tanpa ibadat lainnya, bukan pilihan ibadat yang akan menjamin seseorang diterima ibadatnya oleh Allah swt.
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.(Q.S. Al-Baqarah, 02: 177)
Allah swt. bisa dihubungi tanpa batas ruang dan waktu. Manusia “berhadapan langsung” dengan Allah swt, lebih khusus pada waktu melaksanakan shalat. Allah swt menyediakan waktu untuk menerima do’a manusia pada setiap waktu. Dan, bahkan Allah swt menyediakan waktu khusus untuk menerima, menyambut, koneksi do’a manusia pada waktu-waktu khusus, waktu ijabah do’a. Berikut sejumlah ayat Al-Quran yang terakait dengan konsep dan tuntutan ibadat Mahdhah:
لَهُۥ دَعْوَةُ ٱلْحَقِّ ۖ وَٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِۦ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَىْءٍ إِلَّا كَبَٰسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى ٱلْمَآءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَٰلِغِهِۦ ۚ وَمَا دُعَآءُ ٱلْكَٰفِرِينَ إِلَّا فِى ضَلَٰلٍ
Artinya: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka (Q.S. Ar Ra’du, 13: 14)
3.6 Tugas Latihan
1. Jelaskan lengkap dengan ayat Al-Quran batasan pengertian mahluk ibadat!
Makhluk ibadat merupakan soal kesahajaan kita dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah, makhluk yang seyogyanya terus mengabdi pada Allah. Oleh karena itu, makhluk ibadat dapat diartikan dengan bagaimana kita bisa lebih menghayati keberhambaan kita kepada Allah di setiap waktu yang akan membuat hidup kita menjadi lebih berarti contohnya melakukan sholat,puasa. Dibalik sisi baik yang diberi Allah kepada manusia. Namun, Allah juga memberika sikap buruk(Fujur) yang yang mana sikap buruk ini dapat dilakukan sebab adanya respons dari manusia sehingga, terkadang manusia bisa melakukan perilaku yang buruk tanpa kesadarannya itu semua merupakan peraturan yang telah izin atas dasar Allah. Adapun kutipan ayat Al-Quran yang membahas makhluk ibadat, yakni:
مَا نُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ
Artinya: “Kami tidak menurunkan Malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh”(Q.S. Al-Hijr, 15: 08)
2. Jelaskan dan beri contoh konsep ibadat dalam Dinul(agama) Islam!
Menurut dinul islam, Ibadat berarti mengabdi mengikuti pola dan mengembangkan pola. Konsep ibadat dalam dinul islam yaitu dengan menggunakan pola, pola ini diatur agar semua pelaksana bisa dengan mudah melakukan semua perintah. Pola ibadat adalah ketentuan Allah berupa ikatan yang tidak bisa diubah dalam semua ibadat mahdhah, ibadat yang telah dipastikan bentuk, tempat, cara, hitungan, dan sanksi pelaksanaannya, ibadat berupa tuntunan sekaligus tuntutan Allah, telah dikemas dalam bentuk kitab (di antaranya terdiri atas shuhuf-shuhuf). Dalam dinul islam ibadat dibagi menjadi dua jenis, yakni ibadat vertikal, ibadat horizontal, ibadat imani, dan Ibadat amaliyah.
Contoh:
• Contoh ibadat vertikal, Ibadat shalat, puasa, zakat dan haji merupakan bebarapa contoh ibadah vertikal kita sebagai manusia. Ibadah yang wajib dilakukan manusia.
• Contoh ibadat horizontal, kita dalam bernegara, belajar ilmu umum maupun agama, menghibur seseorang, mempererat tali silaturrahim dan lain-lain.
• Contoh ibadat imani, seperti yang telah ada dalam pola Rukun Iman (mengimani tentang keberadaan Allah Swt, keberadaan malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, keberadaan hari Qiyamat, dan keberadaan qadha serta qadar Allah), juga mengimani keberadaan mukjizat-mukjizat yang telah diberikan oleh Allah keada para Nabi.
• Contoh ibadat amaliyah, juga menjadi tuntutan Allah kepada manusia, contohnya sama seperti ibadat vertikal yaitu menjalankan sholat, puasa dll.
3. Gambarkan posisi iman, ilmu, dan amal dalam konsep Dinul Islam!
• Posisi iman dalam konsep dinul islam, yaitu digunakan oleh manusia untuk mempercayai atau yakin adanya Allah, orang yang sudah memiliki keimanan maka, iman merupakan tahapan pertama pada dinul islam.
• Posisi ilmu dalam konsep dinul islam, yaitu misykat atau cahaya dan kemilau bagima manusia ilmu berguna untuk penyambung antara keimanannya dengan amalan-amalan manusia di muka bumi ini, manusia akan melakukan kebodohan yang terjadi karena ketiadaan ilmu.
• Posisi amal dalam konsep dinul islam, yaitu ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam (ajaran) Islam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu "agama", ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Amal dapat diartikan dengan perbuatan baik yang diridhoi Allah yang akan memberikan manfaat bagi pelakunya di dunia dan akhirat.
4. Jelaskan posisi dan kondisi ibadat mahdhah!
Posisi dalam ibadat mahdhah yakni bersifat murni, yang artinya ibadt mahdhah ini dilakukan dengan atas dasar syariat yang sah dari Allah yang mana logika manusia tidak dapat menjangkau syariat-syariat yang telah ditentukan Allah. Contoh dari ibadat mahdhah yaitu shalat, puasa, untuk menjalankan itu kondisi yang dialami oleh manusia haruslah berkondisi suci yang mana manusia tidak boleh najis agar amalan yang telah diperbuat akan sah dan mendapatkan pahala.
5. Jelaskan dan beri contoh shalat jamak-qashar!
Shalat jamak-qashar yaitu pelaksanaan shalat wajib yang dilakukan dengan menggabungkan 2 waktu pelaksanaan yang dilakukan pada salah satu waktu pelaksanaan shalat wajib yang mana dalam shalat tersebut dengan meringkas jumlah rakaat yang awalnya memiliki 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Contohnya, melaksanakan shalat dzuhur 2 rakaat yang dilaksanakan pada waktu dzuhur setah itu melanjutkan untuk melaksanakan shalat ashar 2 rakaat yang dilakukan pada waktu ashar.
6. Apa yang dimaksud dengan shalat fardhu sebagai ibadat mahdhah yang kewajibannya“melekat” dan bedakan posisi kewajibannya dengan ibadat mahdhah lainnya (shaum, Zakat dan hajji)!
Shalat fardhu adalah suatu kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh umat islam yang mana dilakukan atas dasar ketentuan Allah yang telah ada pada syariat dan dalil-dalik karena adanya perintah langsung dari Allah. Maka, shalat fardu wajib dilaksanakan sebab shalat fardhu merupakan tiang agama bagi umat islam. Posisi shalat fardhu berada pada tahap pertama sebab dengan melaksanakan shalat fardhu maka umat islam akan merasakan ketenrtraman di dunia dan akhirat. Yang kedua, yaitu shaum(puasa) puasa juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat islam, puasa dibagi menjadi dua yakni puasa wajib dan puasa sunnat, puasa wajib haruslah dilakukan oleh semua umat islam dengan pengecualian jika umat tersebut memiliki larangan-larangan yang telah ditentukan oleh Allah misalnya, Haid untuk perempuan, nifas, dll. Sedangkan puasa sunnat merupakan kegiatan yang jika dilakukan mendapatkan pahala dan jika tidak dilakukan juga tidak menimbulkan dosa. Ketiga, zakat, dalam ibadah jenis ini, para ulama menghukumi boleh mewakilkan pada orang lain dalam pelaksanaannya. Yang ketiga, haji merupakan ibadat yang boleh untuk diwakilkan sama halnya dengan zakat, namun dengan syarat-syarat tertentu, seperti tidak mampu melaksanakan haji karena lumpuh, orang yang diwakili sudah pernah melakukan haji. Maka, ibadat jenis haji ini tidak seluas dan sebebas ibadat zakat yang mana dalam hal bolehnya mewakilkan pada orang lain.
7. Apa yang dimaksud dengan batasan shalat sebagai lokomotif ?
Shalat merupakan kewajiban yang telah di tentukan oleh Allah, namun pengertian shalat sebagai lokomotif yaitu suatu pengibaratan posisi ibadat shalat, sebagai lokomotif yang bisa mengangkut amal ibadat lainnya yang diumpamakan sebagai kereta-kereta barang. Kedua pengertian tersebut memiliki makna yang sama yaitu kegiatan untuk mendekatkan diri kepada Allah namun dengan perumpamaan yang berbeda. Contoh dari shalat sebagai lokomotif yaitu ibarat seseorang yang memiliki barang siap kirim yang telah tersimpan dalam sejumlah kereta barang, kekayaan tersebut tidak akan bisa diberangkatkan jika tidak tersedia kereta lokomotifnya. Kereta lokomotif adalah kereta yang memiliki kekuatan untuk menjalankan mesin dan mengangkut kereta barang.