Hari silih berganti, aktivitas pagi hari mulai dilakukan kembali, terlintas memori untuk berkunjung ke sebuah tempat yang tak jarang orang ketahui. Disambut dengan hangatnya mentari memberi kehangatan jiwa dan raga di pagi hari. Bergegas berkunjung ke Kecamatan Tejakula tepatnya di Desa Les.
Pada dasarnya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita sebutan garam. Garam merupakan salah satu bahan dapur yang menjadi prioritas dalam memasak. Kepopuleran garam tidak sedikit menyita perhatian masyarakat sebab memiliki ras khas asin. Dibalik rasa khas asin yang dimiliki, keunikan garam kini memiliki perkembangan pesat. Bermodalan dengan garam, kini masyarakat desa Les mengembangkan olahan garam menjadi sebuah produk sabun. Menakjubkan!
Sesaat tiba di tempat pengolahan garam tradisional Tejakula, kami langsung menghampiri salah satu petani garam yakni I Nyoman Widiasa. Seorang petani garam yang ramah dan menyambut kami dengan hangat memutuskan untuk bercengkrama dibawah atap langit terbuat dari bambu yang tak jauh dari tempat pembuatan garam. Seputar menanyakan beberapa hal mengenai pembuatan garam.
Beruntung bagi Kota Tejakula, meskipun kota kecil yang jauh dari bandara Internasional, namun mampu menciptakan atau memproduksi olahan garam tradisional hingga tembus pasar Internasional salah satunya berada di Desa Les, Tejakula. Sebab, jarang ada yang tahu jika pengolahan garam tradisional di Desa Les dapat terbilang unik dan tradisional. Keunikan garam tradisional atau yang sering disebut dengan garam palungan berhasil menciptakan inovasi terbaru sebuah produk berupa sabun dan garam berbagai varian rasa. Selain itu, pengolahan yang masih terbilang tradisional masih bertahan di tengah gempuran bantuan teknologi mesin.
Pada dasarnya penerapan tradisional dalam proses pembuatan garam palungan di Desa Les sudah dilakukan secara turun temurun. "Sudah sejak kecil saya diajarkan oleh Bapak dalam pembuatan garam, dan hingga saat ini proses pengolahan dilakukan dengan cara yang sama" ujar I Nyoman Widiasa selaku petani garam.
Sejatinya, pengolahan garam palungan dikatakan susah-susah gampang sebab petani harus paham situasi kondisi dalam proses pembuatan.
"Pembuatan garam dapat dilakukan secara cepat jika terik matahari baik, penjemuran garam dilakukan kurang lebih 3 hari jika panas." Ungkap I Nyoman Widiasa.
"Kalau musim hujan kami harus paham situasi. Kok hujan, mendung pun kami tidak memproduksi" lanjut I Nyoman Widiasa. Proses produksi yang menggantungkan dengan cuaca untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Pada umumnya prosesnya pembuatan garam tidak bisa dilakukan sembarangan, perlunya melewati beberapa proses yang perlu dilakukan, meliputi:
Pada tahap pertama, tiap petak tanah disiram menggunakan air laut yang dilakukan sebanyak tiga kali, lalu petani menggaruk tanah tersebut dan dikeringkan dibawah terik matahari hingga menjadi butiran-butiran kecil untuk kemudian dimasukkan ke dalam saringan yang disebut tinjungan.
Pada tahap kedua, sebelum tanah yang berbentuk butiran-butiran kecil dimasukkan dalam tinjungan. Tinjungan terlebih dahulu dilapisi dengan daun lontar, kerikil, dan pasir yang berfungsi sebagai penyaring alami antara tanah dengan air laut. Tanah yang telah dimasukkan ke dalam tinjungan yang bentuknya sangat unik seperti parabola yang terbuat dari bambu kemudian diratakan dan disiram lagi dengan air laut dengan bantuan mesin. Lalu, diaduk menggunakan 2 alat. Alat pertama yakni bangkrak. Tujuannya adalah untuk memecah lumpur yang sedikit keras menjadi lebih kecil. Setelah bangkrak, alat selanjutnya adalah tulud. Tujuannya agar tanah menjadi lebih halus dan lebih menyatu dengan airnya istilah balinya “Ngadukang Bletok”. Waktu pengerjaannya kurang lebih 30 menit.
Pada tahap ketiga, keesokan harinya pengambilan air garam yang disebut “Yeh Nyah”. Kemudian Yeh Nyah tersebut dijemur di terpal, dulu sebelum menggunakan terpal ada alat yang namanya “ Palungan” tetapi hasil yang didapat lebih sedikit dari penggunaan terpal, maka dari itu lebih banyak yang menggunakan terpal, dan akan dipanen keesokan harinya.