Kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan satu kesatuan yang selalu diharapkan. Sungguh sangat menakjubkan, sebab manusia dapat terbius dari ketiga kata tersebut. Tidak hanya untaian kata, tetapi pernyataan tersebut ternyata diterapkan di salah satu kampung tertua di Bali yakni Kampung Gel-Gel.
Kampung Gel-Gel merupakan salah satu kampung muslim tertua di Pulau Dewata yang memiliki masjid berornamen Bali masih dipertahankan hingga saat ini menjadi bukti ikon toleransi. Kemunculan umat Islam di Desa Kampung Gelgel berawal dari 40 orang prajurit beragama Islam dari kerajaan Majapahit yang mengawal Raja Gelgel, Dalem Ketut Ngelesir yang baru pulang menghadiri konferensi di Majapahit yang diadakan oleh Prabu Hayam Wuruk pada tahun 1384. Sebagai tanda terimakasih, Dalem Ketut Ngelesir kemudian memberi hadiah berupa sebidang tanah yang berada di sebelah timur kerajaan Klungkung kepada 40 orang prajurit tersebut.
Sebagian dari prajurit Majapahit tersebut kemudian menetap dan menikah dengan gadis gadis penduduk setempat dan pada tahun 1836 mereka mendirikan masjid Nurul Huda. Menariknya kampung ini memiliki tradisi turun temurun yang masih dilestarikan. Perubahan zaman yang cukup pesat tidak menyurutkan dalam pelestarian tradisi turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat kampung Gel-Gel. Akulturasi Budaya yang terasa hangat menjadi salah satu acuan untuk meningkatkan semangat. Keberadaan agama yang heterogen menumbuhkan perpaduan tradisi. Seperti tradisi megibung saat buka bersama di Kampung Gelgel, Klungkung.
Tradisi bukber megibung dilakukan secara turun temurun bersama penglingsir puri klungkung, perbekel dan semua pihak yang tergabung dalam FKUB. Tradisi megibung merupakan salah satu warisan dari nenek moyang. Kegiatan yang dilakukan dengan buka puasa bersama dengan masyarakat bergabung menjadi satu. Sudah sejak ratusan silam, Kampung Gel-Gel terkenal akan tradisi megibung. Hingga akhirnya adat berjalan begitu saja. Menjaga keharmonisan hidup berdampingan yang sudah 600an tahun keturunan muslim tinggal di sini bersama warga beragama Hindu. Kampung Gel-Gel pun dikenal sebagai salah satu kampung yang memiliki toleransi tinggi antar umat beragama.
Tradisi megibung berasal dari kata "Gibung" yang berarti kegiatan duduk dan makan bersama dalam satu wadah yang disebut sagi. Sagi adalah nampan berbentuk lingkaran berbahan enamel. Sagi yang berisi makanan ditata rapi di atas deretan lantai ubin putih teras depan Masjid Nurul Huda di kampung Gel-Gel.
Sagi akan diisi nasi beserta lauknya seperti ikan, ayam goreng, sate lilit berbahan daging ayam, sayur dan sambal matah juga kerupuk dan beberapa botol air mineral.Tak ketinggalan buah-buahan seperti beberapa sisir pisang ambon, jeruk, dan salak ikut disajikan di dalam sagi, kemudian ditutup dengan tudung atau saap warna merah yang di atasnya diletakkan sekotak kurma. Tak jarang Raja Klungkung juga berkunjung ke desa tersebut untuk ikut berbuka puasa dengan warga Desa Gelgel yang mayoritas beragama Islam.
"Makanan yang dihidangkan di sagi itu merupakan sajian dari masyarakat Kampung Gel-Gel" ungkap Sahidin selaku tokoh masyarakat.
"Megibung ini tidak hanya dilaksanakan di lebaran Idul Adha, tetapi megibung ini juga dilaksanakan dihari besar lainnya. Mengenai sajian makanan dilakukan secara bergantian ole masyarakat berdasarkan data yang kita peroleh" lanjut Sahidin.
Tak ada kesulitan yang begitu terasa untuk menyiapkan 86 sagi yang disajikan pada bukber megibung kali ini. Sahidin sudah membuat jadwal siapa saja warga yang menyajikan sagi tiap Ramadhan secara bergilir. Tradisi megibung ini memiliki beberapa keunikan, di antaranya laki-laki melakukan megibung dengan laki-laki, sedangkan perempuan megibung dengan perempuan, boleh makan hingga puas, tidak memandang perbedaan kasta antara miskin dan kaya, digunakan sebagai media untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dan digunakan media untuk saling mengenal dan mempererat hubungan, serta menyimbolkan nilai kebersamaan. Tidak ada aturan khusus mengenai makanan apa saja yang harus ada pada tradisi megibung, namun instrumen makanan yang ada dalam sagi ngeminang pun tidak jauh berbeda dengan makanan yang terdapat dalam dulang megibung. Megibung yang diadopsi oleh masyarakat Muslim Gelgel hanya merubah makanan yang sesuai dengan norma dan aturan dalam Islam, yakni diharamkannya daging babi dan segala macam darah hewan.
Memandang sejarah Kampung Gel-Gel, memang benar jika kampung ini dikenal dengan kampung yang kuat atau tinggi toleransi. Memang seharusnya jika kampung Gel-Gel menjadi salah satu tujuan wisatawan, dilain sisi karena tradisi yang menakjubkan disisi lain kampung Gel-Gel memiliki toleransi kuat. Pada dasarnya wisatawan tidak cukup jika hanya memandang keindahan akulturasi budaya di kampung Gel-Gel tetapi wisatawan perlu untuk mengikuti tradisi ini dengan masyarakat kampung Gel-Gel lainnya. Suasana hangat kebersamaan hingga akhirnya menciptakan keharmonisan antar umat beragama menambah eksistensi kampung Gel-Gel menjadi salah satu kampung yang perlu dilestarikan.
Keunikan tradisi megibung yang dimiliki dapat menciptakan suasana hangat kebersamaan begitu terasa saat acara buka puasa di Masjid Nurul Huda. Mereka berbaur bersama sembari duduk bersila. Jelang petang tiba waktunya buka puasa. Masyarakat bersama-sama menikmati kudapan yang telah disediakan, dengan cara megibung.
Ketika Bali menjadi tujuan utama wisatawan manca negara, kampung Gel-Gel merupakan salah satu kampung muslim yang perlu dikunjungi. Tingkat toleransi kuat hingga kini dilestarikan antar umat beragama, pelestarian yang patut ditiru oleh kalangan apapun.
Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta yang turut hadir dalam tradisi megibung tersebut mengimbau kepada masyarakat Desa Kampung Gelgel agar terus menjaga kebersamaan, keharmonisan dan silaturahmi yang sudah terjalin sejak dahulu
I Nyoman Suwirta menegaskan "Jaga kebersamaan dan keharmonisan yang sudah terjalin sejak dulu. Kerukunan, kebersamaan selalu menjadi contoh antar umat beragama untuk menjadi kekuatan kita membangun rasa cinta kasih antar sesama,” ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar