KEJUJURAN, JABATAN, dan PENEBUS KEBOHONGAN. Pernyataan singkat namun menakjubkan. Sebab terdapat arti atau makna yang sangat mendalam yang sering disalahgunakan. Bahkan menjadi hal yang sangat lumrah di tengah gempuran pemilihan. Tidak dipungkiri jika ketiga pernyataan itu terjadi, sebab adanya jembatan besar yang menjadi pintu keberhasilan praktik ini. Keberhasilan besar yang dijadikan sebagai "ladang mencari uang tambahan". Sungguh menakjubkan! tidak lain dan tidak bukan hal ini karena dibantu dengan benda yang namanya "UANG". Tidak menutup kemungkinan jika praktik suap menyuap ini sering terjadi di beberapa kabupaten atau kota salah satunya yakni Kabupaten Buleleng.
Kabupaten Buleleng, merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali yang terkenal dengan edukasi, pariwisata, ataupun religi. Kebupaten yang terletak di Bali Utara ini memiliki objek wisata yang sangat terkenal sampai ke mancan negara yakni Lovina, tidak hanya itu kabupaten ini juga dikenal dengan kedisiplinan dalam berkendara dan bagusnya lagi hal ini sangat di patuhi oleh seluruh masyarakat dengan bukti sangat sedikit kasus-kasus pelanggaran lalu lintas di kabupaten ini. Tapi sayangnya dibalik keindahan yang dimiliki tersembunyi praktik suap menyuap yang jarang diketahui.
Menjadi sebuah pemandangan yang biasa kita lihat jika kantor polisi di Banyuning ramai, keramaian inipun bukan tanpa alasan sebab banyak masyarakat berbondong-bondong datang untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) hal ini bertujuan agar berkendara di tengah gempuran kota petarung ini bisa selamat dan aman. Akan tetapi, sangat disayangkan jika pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di kantor polisi Banyuning dilakukan dengan cara yang salah sebab hal ini dijadikan sebagai “ladang mencari uang tambahan” oleh oknum tidak bertanggung jawab. Tentu dengan mudahnya masyarakat diberi jembatan besar untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) ini tanpa mengikuti persyaratan yang seharusnya diikuti.
Praktik suap menyuap ini menjadi fenomena yang lumrah terjadi di kantor polisi Banyuning yang berada di seberang jalan raya, terlebih sangat disayangkan yang melakukan ini merupakan seorang polisi yang mengenakan seragam coklat rapi. Seharusnya seseorang yang patuh terhadap peraturan yang berlaku berbanding terbalik dengan kepercayaan diri oknum polisi ini menjadi jembatan besar dalam proses suap menyuap pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk masyarakat. Kedok yang dilakukan oleh oknum polisi ini yakni dengan menghampiri tiap masyarakat yang datang dengan bekal rayuan bantuan yang telah direncanakan.
“Ada yang bisa saya bantu? Lagi cari SIM? Apakah sudah mendapatkan orang dalam? Kalau tidak saya bisa bantu!” ujar oknum polisi.
Bak anggapan “Ada uang, semua jalan” hal ini menjadi fenomena yang lumrah terjadi di kantor polisi Banyuning ini, bahkan dengan seragam coklat layaknya seorang polisi yang patuh terhadap peraturan, oknum polisi ini dengan gagah dan percaya diri menghampiri masyarakat yang datang dengan rayuan bantuan.
Tidak heran apabila negara kita susah maju seperti negara lainnya, sebab rakyat sendiri menjadi kendala berkembangnya negeri tercinta. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dengan penuh rayuan bantuan seketika menepiskan pemikiran untuk dapat menghalalkan segala secara yang salah. Padahal, seharusnya masyarakat diarahkan untuk mengurus segala pemberkasan namun lain halnya kami disuguhkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bukti kelicikan suap-menyuap di “Rumah” keadilan.
Bagaimanapun juga, meskipun pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Tetapi, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi. Sebab hak ini akan merugikan kedua belah pihak antara masyarakat dan pemerintah.
Kelicikan suap menyuap memang tidak main-main. Keuntungan dari hal inipun juga tidak main-main, mungkin inilah menjadi alasan dasar kenapa kelicikan ini bisa terjadi. Rp. 390.000,- menjadi harga yang dibandrol untuk setiap Surat Izin Mengemudi (SIM) dari pekerjaan gelap ini, sungguh sangat berbeda dengan harga asli yang hanya menyentuh Rp.100.000,- dan hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam “Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 Tentang Jenis dan Trif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada polri”. Sungguh tawaran yang sangat mengiurkan. Harga tiga kali lipat dari tarif asli yang sudah ditetapkan menjadi iming-iming besar bahwa kebohongan menjadi halal dihadapan uang.
Nilai suap menyuap ini, yang seharusnya tidak dibayarkan, mencapai puluhan hingga ratusan ribu rupiah per pemohon. Jika praktik suap menyuap ini dilakukan oleh ratusan atau ribuan orang setiap harinya di berbagai daerah di Indonesia, jumlah praktik ini yang terkumpul bisa mencapai jumlah yang sangat besar.
Praktik suap menyuap ini masuk dalam pungli atau pungutan liar yang menjadi momok dalam birokrasi di sejumlah institusi di Indonesia. Di Kepolisian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bahkan secara tegas melarang tilang secara langsung untuk mengindari pungli. Maka secara tak langsung, mengakui praktik tersebut terjadi.
Mengenai persoalan suap menyuap juga yang kerap dikeluhkan masyarakat terhadap pengurusan sejumlah surat, salah satunya dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kepolisian.
Maraknya pungli nilai kepercayaan masyarakat terhadap polri menjadi terlukai. Padahal, di sisi lain polri menjadi pembenah praktik ini tetapi berbalik halnya jika oknum polri sendiri menjadi dalang praktik seuap menyuap ini. Dengan cap sebagai Kabupaten dengan standar ketertiban berlalu lintas tinggi, layaknya pemerintah daerah harus lebih sadar kembali terhadap keadaan bahwa tidak hanya pelanggaran lalu lintas saja yang harus diperhatikan tetapi juga sistem kinerja polisinya terutama di kandangnya sendiri. Sehingga hal ini bukan menjadi hal yang lumrah lagi dikalangan masyarakat dengan memberikan cap “Uang bisa membeli KEJUJURAN, JABATAN, dan juga PENEBUS KEBOHONGAN”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar